FILM INDIE

Film indie?
Film indie atau biasa dikenal dengan film pendek merupakan salah satu bentuk film yang paling diminati. Baik untuk digarap maupun ditonton. Awalnya, film indie atau film pendek diangap sebagai film murahan dan hanya untuk sutradara-sutradara pemula. Namun sebenarnya, film pendek merupakan satu bentuk film yang paling sulit untuk digarap, namun paling mudah untuk dinikmati.
Pelopor Film Indie dan Sejarahnya
KALAU kita bertanya tentang siapa pelopor film indie di Indonesia, maka nama sineas senior tempo dulu, Haji Usmar Ismail (alm.), mungkin menjadi tokoh yang paling tepat. Kenapa? Karena beliau adalah sineas pribumi pertama yang berani menggagas konsep tentang film sebagai alat perjuangan melawan hegemoni Belanda, yang di awal kemerdekaan itu masih mencengkeram dunia sinema kita.
Bentuk perlawanan beliau adalah dengan mengundurkan diri dari South Pacific Film Corporation (perusahaan Belanda) setelah membuat film "Harta Karun" (1949).
Usmar juga sempat membuat film "Tjitra" (1949) dengan perusahaan yang sama. Untuk kedua filmnya tersebut, beliau mendapat kebebasan hanya dalam hal memilih cerita, tapi tidak dalam hal-hal lain.
Usmar Ismail pernah menyatakan dalam suatu tulisan pada tahun 1962 tentang 2 film yang dibuatnya dengan perusahaan Belanda itu, "Tak dapat saya mengatakan, bahwa kedua film itu adalah film saya, sebab, pada waktu penulisan dan pembuatannya, saya banyak sekali harus menerima petunjuk-petunjuk dari pihak produser yang tak selalu saya setujui." Usmar Ismail kemudian menyatakan bahwa karya pertamanya adalah "Darah dan Doa" (1950), film yang diakui banyak sineas sebagai film terbaik beliau.
Kebebasan dalam berkreasi, itulah yang selalu diidam-idamkan oleh seorang sutradara. Seorang sutradara yang sudah dipercaya untuk menggarap sebuah film tentu mengidamkan suatu sistem kerja yang fair. Bila campur tangan pihak produser terlalu besar sehingga menyebabkan sutradara tak lebih hanya sebagai "tukang", film yang dihasilkan dapat kehilangan nilai-nilai idealnya.
Langkah Usmar Ismail membentuk Perfini adalah jawaban atas keinginan beliau untuk bebas berkarya.
Bercita-cita menaikkan mutu film Indonesia, Perfini malah mengalami krisis karena produksinya kurang diminati penonton. Sempat memproduksi 7 film, di antaranya "Enam Jam di Djogdja" (1951) dan "Harimau Tjampa" (1953), Usmar Ismail akhirnya mencoba berkompromi dengan pasar dan membuat film berjudul "Krisis" (1953). Ternyata film ini menjadi film terlaris masa itu dan bisa mengatasi krisis keuangan Perfini.
Tokoh berikutnya yang mungkin dapat menjadi teladan bagi para filmmaker indie adalah Garin Nugroho. Mari kita simak komentar Roger Corman, juri Young Competition Tokyo Film Festival 1994 tentang film Garin, "Kalau saya jadi produser, saya tidak akan membeli film ini karena tidak akan ada distributor yang membeli, tapi saya memberikan hadiah untuk film terbaik karena bakat, penjelajahan, dan keberaniannya."
"Surat Untuk Bidadari" judul film yang menyita perhatian Roger Corman yang telah melahirkan generasi sukses sekelas Spielberg, George Lucas, dan Francis Ford Copolla, adalah film Garin yang paling banyak mendapat penghargaan.
Selain dari "Tokyo Film Festival", karya yang dibuat tahun 1992 ini juga mendapat penghargaan film terbaik dari "Taormina Film Festival" di Italia, "Berlin Film Festival", dan "Pyong Yang Film Festival".
Kehadiran Garin saat itu, bersamaan dengan menurunnya produksi film nasional, baik secara kuantitas maupun kualitas. Bahkan film Garin berikutnya yang didanai Dewan Film Nasional, "Bulan Tertusuk Ilalang" (1994), dimaksudkan untuk mengangkat perfilman nasional yang mengalami kelesuan itu. Namun, maksud tersebut tak sepenuhnya tercapai. Film ini memang kembali menuai beberapa penghargaan internasional, tapi gagal menggairahkan produksi film nasional yang berkualitas.
Saat itu, Garin memang belum berhasil membuat penonton bioskop di Indonesia kembali menggandrungi film-film nasional, tapi dengan bakat, penjelajahan, dan keberaniannya, film-film Garin telah menjadi inspirasi bagi banyak sineas muda di bawahnya. Gaya film Garin yang anti-mainstream telah memunculkan kepercayaan diri sineas-sineas muda kita untuk berani bereksperimen.
Bahkan dalam film bioskop terakhirnya "Rindu Kami Pada-Mu" (2004), Garin kembali bereksperimen dengan menggunakan studio dalam proses pembuatannya. Sebuah usaha yang mengingatkan kita pada era studio yang mewarnai film-film Indonesia di tahun 1940-an dan 1950-an. Dengan segala usahanya tersebut, Garin mendapat banyak julukan dari orang-orang film internasional.
Menurut Kim Dong-Ho dari Pusan International Film Festival, Garin dianggap telah merintis jalan untuk terciptanya sebuah struktur industi baru dan sekaligus estetika baru bagi sinema Indonesia. Krishna Sen, pengamat film Indonesia dari Australia, menyatakan bahwa Garin adalah seorang sineas yang paling menonjol dalam konteks perfilman di masa Orde Baru yang hanya memberikan sedikit ruang untuk bereksperimen.
Lain Garin Nugroho, lain pula Mira Lesmana. Sineas wanita yang dianggap sebagai tokoh yang berhasil menggairahkan kembali perfilman nasional ini, adalah seorang yang merintis kariernya dengan film indie. "Kuldesak" (1998) adalah film pertamanya dengan tiga sutradara muda lain, Nan T. Achnas, Riri Riza, dan Rizal Manthovani.
"Kuldesak" adalah usaha Mira dan kawan-kawannya untuk mengisi kekosongan film Indonesia di paruh akhir ’90-an. Saat itu, kondisi perfilman nasional sangat terpuruk, kalah bersaing dengan sinetron di TV swasta. "Kuldesak" diproduksi dengan mengandalkan biaya patungan, sedangkan pemainnya direkrut atas dasar pertemanan sehingga bersedia untuk tidak menerima honor. Film ini, kemudian didistribusikan dengan pemutaran dari kampus ke kampus.
Pengalaman membuat film "Kuldesak" menjadi pelajaran yang berharga bagi Mira Lesamana dan Riri Riza. Mereka berkesimpulan bahwa, bukan tidak mungkin membuat film yang berkualitas, tetapi tetap bisa laris di pasar. Kolaborasi mereka berikutnya menghasilkan "Petualangan Sherina" (2000), film musikal anak-anak yang laris manis di bioskop.
"Petualangan Sherina", tidak hanya memanfaatkan kepopuleran Sherina yang saat itu sedang naik daun, tapi juga didukung dengan promosi yang gencar dan terarah, mulai dari memproduksi buku komik adegan film, foto-foto Sherina, dan souvenir lainnya. Selain itu, film ini juga didukung dengan lagu-lagu baru yang diaransemen oleh salah seorang maestro musik Indonesia, yaitu Elfa Secioria.
Kepeloporan Mira Lesmana dengan Miles Production-nya tidak berhenti sampai di situ. Dengan menggaet sutradara muda, Rudi Sudjarwo, Miles memproduksi "Ada Apa dengan Cinta" (2001), sebuah film remaja yang tak biasa. Dan kembali tangan dingin 2 produser muda, Mira Lesamana dan Riri Riza ini sukses menghasilkan film box office.
"Ada Apa dengan Cinta" (AADC) tidak hanya mengangkat pamor Rudi Sudjarwo yang sebelumnya pernah membuat film indie "Bintang Jatuh" dan "Tragedy", tapi ikut pula melambungkan dua bintang remajanya, Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra. "AADC" bahkan telah menjadi serial sinetron remaja yang laris di salah satu stasiun TV swasta nasional.
Kini, dengan "GIE" (2005), film tentang aktivis mahasiswa tahun 66, Mira Lesmana dan Riri Riza kembali menunjukkan kepeloporannya. Film ini adalah film Indonesia pertama yang berani mengangkat biografi seorang tokoh yang memicu kontroversi.
Film indie atau biasa dikenal dengan film pendek merupakan salah satu bentuk film yang paling diminati. Baik untuk digarap maupun ditonton. Awalnya, film indie atau film pendek diangap sebagai film murahan dan hanya untuk sutradara-sutradara pemula. Namun sebenarnya, film pendek merupakan satu bentuk film yang paling sulit untuk digarap, namun paling mudah untuk dinikmati.
Pelopor Film Indie dan Sejarahnya
KALAU kita bertanya tentang siapa pelopor film indie di Indonesia, maka nama sineas senior tempo dulu, Haji Usmar Ismail (alm.), mungkin menjadi tokoh yang paling tepat. Kenapa? Karena beliau adalah sineas pribumi pertama yang berani menggagas konsep tentang film sebagai alat perjuangan melawan hegemoni Belanda, yang di awal kemerdekaan itu masih mencengkeram dunia sinema kita.
Bentuk perlawanan beliau adalah dengan mengundurkan diri dari South Pacific Film Corporation (perusahaan Belanda) setelah membuat film "Harta Karun" (1949).
Usmar juga sempat membuat film "Tjitra" (1949) dengan perusahaan yang sama. Untuk kedua filmnya tersebut, beliau mendapat kebebasan hanya dalam hal memilih cerita, tapi tidak dalam hal-hal lain.
Usmar Ismail pernah menyatakan dalam suatu tulisan pada tahun 1962 tentang 2 film yang dibuatnya dengan perusahaan Belanda itu, "Tak dapat saya mengatakan, bahwa kedua film itu adalah film saya, sebab, pada waktu penulisan dan pembuatannya, saya banyak sekali harus menerima petunjuk-petunjuk dari pihak produser yang tak selalu saya setujui." Usmar Ismail kemudian menyatakan bahwa karya pertamanya adalah "Darah dan Doa" (1950), film yang diakui banyak sineas sebagai film terbaik beliau.
Kebebasan dalam berkreasi, itulah yang selalu diidam-idamkan oleh seorang sutradara. Seorang sutradara yang sudah dipercaya untuk menggarap sebuah film tentu mengidamkan suatu sistem kerja yang fair. Bila campur tangan pihak produser terlalu besar sehingga menyebabkan sutradara tak lebih hanya sebagai "tukang", film yang dihasilkan dapat kehilangan nilai-nilai idealnya.
Langkah Usmar Ismail membentuk Perfini adalah jawaban atas keinginan beliau untuk bebas berkarya.
Bercita-cita menaikkan mutu film Indonesia, Perfini malah mengalami krisis karena produksinya kurang diminati penonton. Sempat memproduksi 7 film, di antaranya "Enam Jam di Djogdja" (1951) dan "Harimau Tjampa" (1953), Usmar Ismail akhirnya mencoba berkompromi dengan pasar dan membuat film berjudul "Krisis" (1953). Ternyata film ini menjadi film terlaris masa itu dan bisa mengatasi krisis keuangan Perfini.
Tokoh berikutnya yang mungkin dapat menjadi teladan bagi para filmmaker indie adalah Garin Nugroho. Mari kita simak komentar Roger Corman, juri Young Competition Tokyo Film Festival 1994 tentang film Garin, "Kalau saya jadi produser, saya tidak akan membeli film ini karena tidak akan ada distributor yang membeli, tapi saya memberikan hadiah untuk film terbaik karena bakat, penjelajahan, dan keberaniannya."
"Surat Untuk Bidadari" judul film yang menyita perhatian Roger Corman yang telah melahirkan generasi sukses sekelas Spielberg, George Lucas, dan Francis Ford Copolla, adalah film Garin yang paling banyak mendapat penghargaan.
Selain dari "Tokyo Film Festival", karya yang dibuat tahun 1992 ini juga mendapat penghargaan film terbaik dari "Taormina Film Festival" di Italia, "Berlin Film Festival", dan "Pyong Yang Film Festival".
Kehadiran Garin saat itu, bersamaan dengan menurunnya produksi film nasional, baik secara kuantitas maupun kualitas. Bahkan film Garin berikutnya yang didanai Dewan Film Nasional, "Bulan Tertusuk Ilalang" (1994), dimaksudkan untuk mengangkat perfilman nasional yang mengalami kelesuan itu. Namun, maksud tersebut tak sepenuhnya tercapai. Film ini memang kembali menuai beberapa penghargaan internasional, tapi gagal menggairahkan produksi film nasional yang berkualitas.
Saat itu, Garin memang belum berhasil membuat penonton bioskop di Indonesia kembali menggandrungi film-film nasional, tapi dengan bakat, penjelajahan, dan keberaniannya, film-film Garin telah menjadi inspirasi bagi banyak sineas muda di bawahnya. Gaya film Garin yang anti-mainstream telah memunculkan kepercayaan diri sineas-sineas muda kita untuk berani bereksperimen.
Bahkan dalam film bioskop terakhirnya "Rindu Kami Pada-Mu" (2004), Garin kembali bereksperimen dengan menggunakan studio dalam proses pembuatannya. Sebuah usaha yang mengingatkan kita pada era studio yang mewarnai film-film Indonesia di tahun 1940-an dan 1950-an. Dengan segala usahanya tersebut, Garin mendapat banyak julukan dari orang-orang film internasional.
Menurut Kim Dong-Ho dari Pusan International Film Festival, Garin dianggap telah merintis jalan untuk terciptanya sebuah struktur industi baru dan sekaligus estetika baru bagi sinema Indonesia. Krishna Sen, pengamat film Indonesia dari Australia, menyatakan bahwa Garin adalah seorang sineas yang paling menonjol dalam konteks perfilman di masa Orde Baru yang hanya memberikan sedikit ruang untuk bereksperimen.
Lain Garin Nugroho, lain pula Mira Lesmana. Sineas wanita yang dianggap sebagai tokoh yang berhasil menggairahkan kembali perfilman nasional ini, adalah seorang yang merintis kariernya dengan film indie. "Kuldesak" (1998) adalah film pertamanya dengan tiga sutradara muda lain, Nan T. Achnas, Riri Riza, dan Rizal Manthovani.
"Kuldesak" adalah usaha Mira dan kawan-kawannya untuk mengisi kekosongan film Indonesia di paruh akhir ’90-an. Saat itu, kondisi perfilman nasional sangat terpuruk, kalah bersaing dengan sinetron di TV swasta. "Kuldesak" diproduksi dengan mengandalkan biaya patungan, sedangkan pemainnya direkrut atas dasar pertemanan sehingga bersedia untuk tidak menerima honor. Film ini, kemudian didistribusikan dengan pemutaran dari kampus ke kampus.
Pengalaman membuat film "Kuldesak" menjadi pelajaran yang berharga bagi Mira Lesamana dan Riri Riza. Mereka berkesimpulan bahwa, bukan tidak mungkin membuat film yang berkualitas, tetapi tetap bisa laris di pasar. Kolaborasi mereka berikutnya menghasilkan "Petualangan Sherina" (2000), film musikal anak-anak yang laris manis di bioskop.
"Petualangan Sherina", tidak hanya memanfaatkan kepopuleran Sherina yang saat itu sedang naik daun, tapi juga didukung dengan promosi yang gencar dan terarah, mulai dari memproduksi buku komik adegan film, foto-foto Sherina, dan souvenir lainnya. Selain itu, film ini juga didukung dengan lagu-lagu baru yang diaransemen oleh salah seorang maestro musik Indonesia, yaitu Elfa Secioria.
Kepeloporan Mira Lesmana dengan Miles Production-nya tidak berhenti sampai di situ. Dengan menggaet sutradara muda, Rudi Sudjarwo, Miles memproduksi "Ada Apa dengan Cinta" (2001), sebuah film remaja yang tak biasa. Dan kembali tangan dingin 2 produser muda, Mira Lesamana dan Riri Riza ini sukses menghasilkan film box office.
"Ada Apa dengan Cinta" (AADC) tidak hanya mengangkat pamor Rudi Sudjarwo yang sebelumnya pernah membuat film indie "Bintang Jatuh" dan "Tragedy", tapi ikut pula melambungkan dua bintang remajanya, Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra. "AADC" bahkan telah menjadi serial sinetron remaja yang laris di salah satu stasiun TV swasta nasional.
Kini, dengan "GIE" (2005), film tentang aktivis mahasiswa tahun 66, Mira Lesmana dan Riri Riza kembali menunjukkan kepeloporannya. Film ini adalah film Indonesia pertama yang berani mengangkat biografi seorang tokoh yang memicu kontroversi.